Akademisi Unsultra Beri Catatan Kritis Terhadap RUU Komisi Yudisial

Akademisi Unsultra Beri Catatan Kritis Terhadap RUU Komisi Yudisial
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY) menjadi sorotan publik.


Dalam sebuah acara edukasi publik yang diselenggarakan oleh Penghubung KY Wilayah Sulawesi Tenggara di Gedung WTC Universitas Sulawesi Tenggara, Kamis (7/8/2025), akademisi Unsultra, La Ode Muhram, menyampaikan sejumlah catatan kritisnya.

Menurutnya, RUU ini bertujuan untuk memperkuat KY secara kelembagaan, baik dari sisi struktur, kewenangan, maupun kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM). Hal ini penting untuk mengoptimalkan peran KY dalam reformasi peradilan di Indonesia dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.

Meski demikian, Muhram menyoroti beberapa poin penting yang perlu direvisi dalam RUU tersebut, antara lain: Pertama, Definisi Kode Etik Aparatur Pengadilan: Muhram menekankan pentingnya pendefinisian kode etik aparatur pengadilan secara eksplisit dalam Pasal 1, mengingat aparatur pengadilan merupakan objek pengawasan KY.

Kedua, Kriteria Akademisi: Pada Pasal 6 ayat 3 huruf b, frasa “akademisi” seharusnya dipersempit menjadi “akademisi hukum atau yang relevan.” Hal ini bertujuan untuk menyelaraskan dengan syarat anggota KY pada Pasal 26 huruf e yang mensyaratkan ijazah magister hukum atau magister lain yang relevan.

Ketiga, Hak Imunitas: Muhram mengusulkan rekonstruksi ulang pada Pasal 6 ayat 5 tentang hak imunitas. Ia berpendapat frasa “Komisi Yudisial” harus diganti dengan “Pimpinan Komisi Yudisial,” sebab hak imunitas melekat pada individu atau pejabat, bukan pada lembaga.

Ia juga menyarankan agar redaksi hak imunitas dibuat lebih ekstensif, seperti yang berlaku pada advokat atau anggota DPR, agar tidak memberikan celah bagi aparat penegak hukum di luar pengadilan untuk memproses anggota KY.

Keempat, Perluasan Kewenangan: Muhram mencatat perlunya penambahan frasa “Kode Etik dan Pedoman Perilaku Aparat Pengadilan” pada Pasal 13 ayat 1 angka 2 dan 3, sebagai konsekuensi dari perluasan kewenangan KY untuk mengawasi aparat pengadilan.


Kelima, Kewenangan Penyadapan: Terkait kewenangan penyadapan pada Pasal 20B, Muhram menganggap perlu ditambahkan pasal yang menjelaskan bahwa prosedur operasional standar penyadapan diatur dalam peraturan KY. Hal ini untuk mencegah potensi penyalahgunaan wewenang dan menjamin adanya standar yang jelas, ketat, dan rinci dalam praktik penyadapan.

Keenam, Perwakilan Komisi Yudisial: Muhram juga menyoroti minimnya substansi mengenai Perwakilan KY dalam RUU ini. Ia berharap adanya penambahan aturan yang lebih rinci mengenai kedudukan, struktur, dan kewenangan Perwakilan KY, agar tidak sekadar berubah nama dari “Penghubung.”

Catatan-catatan dari akademisi ini diharapkan dapat menjadi masukan berharga bagi penyusunan RUU KY, demi terciptanya sebuah landasan hukum yang kuat dan jelas untuk optimalisasi peran Komisi Yudisial dalam menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim di Indonesia.


source : radarkendari.id